Sunday, July 17, 2011

Pendidikan Seks Bagi Siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) Sangat Penting Untuk Diajarkan

Pendidikan Seks Bagi Siswa Sekolah Menengah Umum (SMU) Sangat Penting Untuk Diajarkan
Arus globalisasi, khususnya globalisasi budaya membawa sebuah kekhawatiran bagi para generasi muda terutama bagi para siswa SMU. Hal ini ditunjukkan dengan perubahan gaya hidup mereka yang cendrung meniru budaya barat. Mereka bahkan tak peduli apakah nilai-nilai budaya barat tersebut sesuai dengan nilai-nilai budaya timur. Maka tidak mengherankan, jika gaya hidup ala barat tersebut begitu cepat mempengaruhi pergaulan remaja. Pertama sekali, ini dapat dibuktikan melalui gaya hidup konsumtif. Kemudian diikuiti dengan gaya hidup yang mengedepankan kebebasan di atas segalanya, termasuk dalam memandang hubungan badan pra-nikah.
            Perilaku seks bebas dapat mengakibatkan tertular HIV/AIDS serta kehamilan yang tidak dikehendaki di kalangan remaja. Pendidikan seks sepatutnya diberikan sejak anak di sekolah dasar (SD) sampai sekolah menengah umum (SMU). Masalah reproduksi perlu dibicarakan secara terbuka, sehingga anak dan remaja memahami bagaimana cara organ seksual mereka bekerja. Mereka tidak akan panik lagi jika mengalami menstruasi pertama bagi perempuan, dan mimpi pertama bagi laki-laki. Pada saat itu secara biologis mereka dewasa, namun secara psikologis dan sosial, belum. Pendidikan seks, yang lebih mengarah ke kesehatan reproduksi diperlukan agar mereka lebih berhati-hati dalam menjaga diri. Anak yang dibekali dengan pendidikan seks yang baik akan mampu menjaga diri dengan baik.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia beberapa waktu lalu, menyebutkan bahwa sebagian besar remaja di wilayah Jabodetabek mengatakan bahwa mereka sudah tidak lagi memandang tabu untuk melakukan hubungan badan ketika mereka berpacaran. Oleh karena itu, untuk menyikapi persoalan ini diperlukan upaya-upaya yang signifikan untuk mengajak kalangan pelajar agar mampu menyikapi arus globalisasi budaya dengan bijak.    Dengan makin banyaknya persoalan kesehatan reproduksi remaja, maka pemberian informasi, layanan dan pendidikan kesehatan reproduksi remaja menjadi sangat penting.
               Permasalahan remaja yang disebutkan di atas berkaitan erat dengan kesehatan reproduksi, dan seringkali berakar dari kurangnya informasi dan pemahaman serta kesadaran untuk mencapai sehat secara reproduksi.    Akses untuk mendapatkan informasi bagi remaja banyak yang tertutup. Dengan memperluas akses informasi tentang kesehatan reproduksi remaja yang benar dan jujur bagi remaja akan membuat remaja makin sadar terhadap tanggung jawab perilaku reproduksinya. Mengacu pada isu-isu global, seperti yang dibahas di International Conference of Population and Development (ICPD) di Kairo tahun 1994, maka setiap orang (laki-laki dan perempuan, tanpa diskriminasi, termasuk anak dan remaja) harus mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang memadai
Di masyarakat, kasus-kasus kehamilan yang tidak dikehendaki selalu dipandang dengan muatan-muatan yang sarat dengan moral. Masyarakat cenderung menyalahkan korban, bukannya empati. Akibatnya, terjadi stigmatisasi dan diskriminasi dan menjadikan kasus ini tabu untuk dibicarakan secara terbuka. Maraknya situs-situs porno di internet, dikhawatirkan membawa dampak negatif pada generasi muda kita. Pasalnya lebih dari 60% pengguna jasa internet di Indonesia, didominasi oleh pengguna-pengguna usia Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi, yaitu sekitar 18 hingga 24 tahun. Dan diyakini, sebagian besar dari mereka gemar mengunjungi situs-situs porno.
               Data menunjukkan, akibat kehamilan yang tidak dikehendaki ini, hampir bisa dipastikan siswi yang mengalami kasus ini harus berhenti dari sekolah atau dikeluarkan. Pihak sekolah selalu beralasan, dengan memberikan izin sekolah bagi siswi hamil, nama baik sekolah akan tercermar dan perbuatan tersebut akan ditiru oleh murid-murid lainnya. Pendapat ini baru asumsi/ pandangan dan belum tentu kebenarannya. Dengan demikian, pihak perempuanlah yg paling dirugikan bila kasus ini benar terjadi.
               Kasus kehamilan yang tidak dikehendaki ini merupakan kasus yang berakibat terjadinya diskriminasi dan merupakan pelanggaran atas hak-hak anak. Paling tidak, hak untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan Konvensi Hak Anak, harus ada perubahan cara pandang atas kasus ini dari muatan moral menjadi muatan empati. Di mana hak-hak korban harus dilindungi dan diperjuangkan secara bersama-sama. Tidak menyalahkan korban dengan alasan-alasan yang tidak rasional, seperti menuduh korban sebagai pihak yang memicu terjadinya perbuatan tersebut dengan memakai pakaian-pakaian seksi dan sejenisnya.
               Menurut data statistik, jumlah penduduk di Jawa pada tahun 2002 mencapai 31.691.866 jiwa, terdiri atas 15.787.143 (49,81%) laki-laki, dan 15.904.723 (50,19 %) perempuan. Dari jumlah tersebut, sekitar 9.019.505. (28,46%) adalah mereka yang berusia anak/remaja. Jumlah ini relatif cukup besar, karena mereka akan menjadi generasi penerus yang akan mengemban tugas di masa yang akan datang. Status kesehatan mereka saat ini akan sangat menentukan kesehatan mereka di saat dewasa, khususnya bagi perempuan, terutama mereka yang akan menjadi ibu dan melahirkan.
Dari berbagai sumber yang dikumpulkan, ada beberapa permasalahan yang dihadapi oleh pada area kesehatan reproduksi. Permasalahan tersebut adalah, pertama, rendahnya pengetahuan. Dari survei yang dilakukan Youth Center Pilar PKBI Jawa Tengah 2004 di mengungkapkan dengan pertayaan-pertanyaan tentang proses terjadinya bayi, Keluarga Berencana, cara-cara pencegahan HIV/AIDS, anemia, cara-cara merawat organ reproduksi, dan pengetahuan fungsi organ reproduksi, diperoleh informasi bahwa 43,22 % pengetahuannya rendah, 37,28 % pengetahuan cukup sedangkan 19,50 % pengetahuan memadai.
Di sisi lain, prilaku remaja yang berpacaran -juga tergambar dari survei yang juga dilakukan Youth Center Pilar PKBI Jawa Tengah- saling ngobrol 100 %, berpegangan tangan 93,3 %, mencium pipi /kening 84,6 %, berciuman bibir 60,9 %, mencium leher 36,1 % saling meraba (payudara dan kelamin) 25 %, dan melakukan hubungan seks 7,6 %. Khusus untuk yang melakukan hubungan seks, pasangannya adalah pacar 78,4 %, teman 10,3 dan pekerja seks 9,3 %. Alasan mereka melakukan hubungan seks coba-coba 15,5 %, sebagai ungkapan rasa cinta 43,3 %, kebutuhan biologis 29,9 %. Sedangkan tempat untuk melakukan hubungan seks adlh rmh sendiri/pacar 30 %, tempat kos 32 %, hotel 28 %, dan lainnya 9 %.
Data yang dikemukakan di atas adalah data-data tentang remaja perkotaan, khususnya di kota Semarang. Bagaimana dengan anak/ remaja yang ada di pedesaan? Dengan segala keterbatasan yang ada di desa, angka-angka di atas diyakini tidak berbeda jauh, bahkan dalam beberapa aspek (pengetahuan HIV/ AIDS), mungkin anak/ remaja di desa lebih rendah pengetahuannya dibandingkan dengan anak/remaja perkotaan.
Melihat besarnya permasalahan dan dampaknya di masa depan untuk generasi mendatang, maka dalam rangka menjamin pemenuhan hak seksual dan kesehatan reproduksi untuk remaja, maka ada beberapa upaya yang harus dilakukan secara terpadu dan lintas sektor. Untuk itu, perlu dibangun komitmen bersama antarelemen, baik pemerintah maupun masyarakat, yang menetapkan kesehatan reproduksi remaja sebagai agenda/isu bersama dan penting.Harus ada keyakinan bersama bahwa membangun generasi penerus yang berkualitas perlu dimulai sejak anak, bahkan sejak dalam kandungan. Untuk itu, harus ada kesadaran bersama bahwa upaya yg dilakukan saat ini tdk srta merta tampak hasilnya, namun perlu wkt pnjg utk memetik hasilnya. Upaya-upaya yang perlu dilakukan adalah pemberian informasi kesehatan reproduksi dalam berbagai bentuk sedini mungkin kepada seluruh segmen remaja, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Pemberian informasi ini dengan tujuan meningkatkan pengetahuan yang pada gilirannya mampu memberikan pilihan kepada remaja untuk bertindak secara bertanggung jawab, baik kepada dirinya maupun keluarga dan masyarakat.
Untuk itu, di era otonomi daerah seperti sekarang ini, adalah momentum yang menguntungkan dan tepat untuk melahirkan kebijakan ini. Pemerintah bersama LSM dan masyarakat dapat menjadi inisiator lahirnya kebijakan ini menjadi perda atau sejenisnya. Kebijakan itu misalnya dengan memberikan keputusan bahwa seluruh sekolah, baik negeri maupun swasta mempunyai kewajiban memberikan informasi kesehatan reproduksi remaja mulai SD hingga SMU. Oleh karena itu, diharapkan ada perlakukan yang sama untuk memberlakukan pendidikan kesehatan reproduksi remaja sebagai muatan lokal di seluruh jenjang pendidikan dari SD hingga SMU.
               Pendidikan kesehatan reproduksi yang dimaksud di sini tidak ada hubungannya dengan teknik-teknik hubungan seks, namun merupakan sekumpulan pengetahuan yang berisi tentang pengenalan dan fungsi-fungsi organ reproduksi (termasuk di dalamnya proses terjadinya menstruasi dan mimpi basah), proses terjadinya pembuahan, pengetahuan infeksi, HIV/AIDS, pengetahuan tentang gender dan risiko-risiko hubungan seks yang tidak bertanggung jawab. Dengan memberikan waktu khusus pendidikan kesehatan reproduksi remaja dalam sekolah, maka akan ada upaya-upaya sistematis dan terencana dalam pemberian informasi kepada anak didik, sehingga pada gilirannya mereka dapat mengetahui dan bertanggung jawab atas perilaku seksualnya di masa depan.
               Sisi lainnya adalah memberikan benteng/pertahanan kepada remaja itu sendiri untuk secara tegas dapat bersikap atas maraknya informasi pornografi yang beredar di masyarakat, baik dalam bentuk tulisan, maupun elektronik. Upaya ini memerlukan dukungan dari berbagai pihak, terutama para stakeholder dalam pendidikan yang berani berpikir secara kreatif dan inovatif dalam melahirkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada remaja.
               Sudah saatnya diakhiri hal-hal yang kontraproduktif dan polemik yang mempertentangkan antara pendidikan kesehatan reproduksi dengan pornografi. Area pembatas kedua hal ini sudah sangat jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Kekhawatiran bahwa dengan informasi pendidikan kesehatan reproduksi para murid (anak didik) akan meniru juga berlebihan, karena di dalam informasi pendidikan kesehatan reproduksi remaja memang tidak ada sesuatu yang patut ditiru. Jadi sebenarnya tidak ada sesuatu yang patut dicurigai atau bahkan dikhawatirkan.
               Upaya lainnya adalah memberikan informasi yang komprehensif bahaya dan akibat-akibat yang ditanggung remaja bila melakukan perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab. Informasi kerugian fisik, mental dan spiritual harus dijelaskan secara seimbang bila sampai terjadi perilaku seks yang tidak bertanggung jawab. Bagaimanapun juga, mencegah terjadinya perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab jauh lebih baik dari pada harus menyelesaikannya bila hal tersebut sungguh-sungguh terjadi. Kita sepakat, tidak rela melihat anak-anak bangsa kita menjadi generasi penerus yang lemah dan menderita hanya gara-gara mereka melakukan praktik-praktik seksual yang tidak bertanggungjawab di masa mendatang disebabkan pengetahuan mereka yang rendah.